· Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram
Beliau adalah Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram Abu Abdillah Al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah saw. Tinggal di Madinah dan wafat pula di Madinah pada tahun 78 H. Beliau termasuk sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits Rasulullah saw. Tercatat hadits riwayat beliau sekitar 1.540-an hadits. Beliau juga termasuk sahabat terakhir yang wafat di Madinah. Beliau wafat dalam usia 94 tahun.
· Abu Al-Zubair
Beliau adalah Muhammad bin Muslim Abu Al-Zubair Al-Azady, salah seorang di bawah wushta minat tabiin. Wafat tahun 136 H. Beliau mengambil hadits dari sahabat dan juga dari tabiin, di antaranya adalah Anas bin Malik, Aisyah ra, Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan Thawus bin Kaisan. Sedangkan murid-murid beliau adalah Hammad bin Salamah bin Dinar, Sufyan bin Uyainah, Sulaiman bin Mihran, Syu’bah bin Hajjaj, dan Malik bin Anas. Adapun dalam derajat jarh wa ta’dil-nya, sebagian mengkategorikannya tisqah, sebagian lainnya shaduq. Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengkategorikan beliau sebagai Shaduq.
· Ma’qil bin Ubaidillah
Beliau adalah Ma’qil bin Ubaidillah, Abu Abdullah Al-Harani Al-Abasy, salah seorang Atba’ Tabiin. Wafat pada tahun 166 H. Beliau mengambil hadits di antaranya dari Atha’ bin Abi Ribah, Ikrimah bin Khalid, Amru bin Dinar, dan Ibnu Syihab Al-Zuhri. Sedangkan murid-muridnya adalah Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Abdullah bin Zubair bin Umar bin Dirham, dan Abdullah Muhammad bin Ali bin Nufail. Dalam jarh wa ta’dil beliau dikategorikan sebagai shoduq.
Gambaran Umum Tentang Hadits
Para ulama hadits mengemukakan bahwa hadits ini memberikan gambaran penting tentang kaidah beramal secara umum dalam Islam. Oleh karenanya sebagian bahkan mengatakan bahwa hadits ini mencakup seluruh ajaran Islam. Kaidah yang digambarkan hadits ini adalah bahwa sesungguhnya segala “amal perbuatan” itu boleh dilaksanakan selagi terpatri dengan kewajiban-kewajiban syariat serta tidak melanggar prinsip umum hukum Islam, yaitu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
Terkait dengan hal ini, ulama ushul fiqh bahkan memberikan satu kaidah tersendiri mengenai “bolehnya” melakukan segala perbuatan dalam muamalah dengan kaidah: Hukum asal dalam bermuamalah adalah “boleh”, kecuali ada dalil yang melarang perbuatan tersebut.
Makna Hadits
Hadits ini memberikan gambaran sederhana mengenai cara untuk masuk ke dalam surga. Dikisahkan bahwa seseorang sahabat (dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat ini adalah An-Nu’man bin Qauqal) datang dan bertanya kepada Rasulullah saw. dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Ya Rasulullah saw, jika aku melaksanakan shalat yang fardhu, puasa yang wajib (puasa ramadhan), kemudian melakukan yang halal dan meninggalkan yang haram, apakah dengan hal tersebut dapat mengantarkanku ke surga?” Pertanyaan sederhana ini dijawab oleh Rasulullah saw. dengan jawaban sederhana, yaitu “ya”.
Hadits di atas secara dzahir menggambarkan “kesederhanaan” amalan yang dilakukannya sebagai seorang sahabat, yaitu hanya melaksanakan shalat dan puasa serta melakukan perbuatan yang dihalalkan dan meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Dan ketika perbuatannya tersebut “ditanyakan” kepada Rasulullah saw., beliau pun tidak mematahkan “keterbatasan” yang dimiliki sahabat tersebut, namun justru menyemangatinya dengan membenarkan bahwa dengan hal sederhana tersebut insya Allah dapat membawa dirinya masuk ke dalam surga.
Itu artinya, Rasulullah saw dapat memahami bahwa tidak semua muslim memiliki kemampuan yang “lebih”, sehingga ia dapat maksimal melakukan berbagai aktivitas ibadah secara bersamaan sekaligus, seperti ibadah, jihad, tilawah, shaum, shadaqah, haji, birrul walidain dan sebagainya. Namun di antara kaum muslimin terdapat juga yang hanya memiliki kemampuan terbatas; hanya dapat mengimplementasikan Islam sebatas amaliyah fardhu, namun tetap menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286).
Menghalalkan Yang Halal Dan Mengharamkan Yang Haram
Kesederhanaan amalan yang dilakukan seorang muslim hingga dapat membawanya ke dalam surga, dibingkai dengan bingkai “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram artinya bahwa dirinya atau keinginannya mengikuti apa yang dihalalkan oleh Allah swt. serta menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah swt. Dan bukan atas dasar keinginan serta kemauan diri pribadinya (Al-Kahfi: 28).
Bahkan dalam hadits, Rasulullah saw. menegaskan bahwa hanya dengan melaksanakan kewajiban seperti shalat, puasa dan zakat saja, namun belum menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, itu semua belum cukup:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan shalat, puasa dan zakat. Namun ia juga mencela (orang) ini, menuduh zina (orang) ini, memakan harta (orang) ini, menumpahkan darah dan memukul (orang) ini. Lalu diambillah kebaikannya untuk menutupi hal tersebut. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum terlunasi “perbuatannya” tersebut, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang menjadi korbannya) dan dilemparkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam api neraka (HR. Ahmad).
Banyak Jalan Menuju Surga
Sesungguhnya jika diperhatikan hadits-hadits Rasulullah saw. lainnya akan didapatkan bahwa banyak amalan sederhana yang jika dilakukan akan mengantarkan kita menjadi ahlul jannah, di antaranya adalah:
· Melaksanakan shalat subuh dan ashar. Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang shalat dua waktu dingin (subuh dan ashar), maka ia akan masuk surga (HR. Bukhari).
· Tauhidkan Allah dan melaksanakan ibadah fardhu. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang jika aku laksanakan dapat mengantarkanku ke dalam surga?” Beliau menjawab, “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya terhadap apapun, melaksanakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib serta melaksanakan puasa di bulan ramadhan.” (HR. Bukhari)
· Mentaati Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Semua umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku masuk surga, dan siapa yang maksiat terhadapku (tidak mentaatiku) maka ia adalah yang enggan.” (HR. Bukhari)
· Beramal sosial. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah di antara kalian yang berpuasa hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengiringi jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang telah memberikan makan pada orang miskin hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menjenguk saudaranya yang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah semua hal di atas terkumpul dalam diri seseorang, melainkan ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)
Kunci Surga adalah La Ilaha Ilallah
Pada hakikatnya, kunci surga itu adalah kalimat tauhid “Tiada Ilah selain Allah swt”. Sehingga seorang mu’min yang telah mengucapkan kalimat itu dan ia meyakini sepenuh hati atas segala konsekuensinya, maka ia berhak untuk masuk ke dalam surga Allah swt.
Dari Ubadah bin Al-Shamit r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasanya Isa a.s. adalah hamba dan utusannya yang merupakan kalimat dan ruh yang ditiupkan pada Maryam, dan bahwasanya surga dan neraka adalah benar adanya, maka Allah swt. akan memasukkannya dalam surga sesuai amal perbuatannya (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah, berhak mendapatkan surga dari-Nya. Dan sekiranya ia melakukan perbuatan maksiat, maka ia tetap berhak mendapatkan surga namun setelah dosa-dosanya dihapuskan dalam neraka.
Celaan Terhadap Orang Yang Mengikuti Hawa Nafsu
Penyebab seseorang melakukan satu perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah. adalah karena mengikuti hawa nafsunya. Oleh karenanya dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (syariat Allah swt.).” Dalam Alquran Allah memberikan perumpamaan yang amat hina bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya: seperti anjing. (Al-A’raf: 176)
Mengikuti hawa nafsu ini dapat menjadikan seseorang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Ini kebalikan dari pesan yang tersurat dari hadits di atas. Oleh karenanya, salah satu bentuk “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram” adalah dengan membuang jauh-jauh hawa nafsu yang cenderung mengajak pada kemaksiatan pada Allah swt. Dan insya Allah, hal ini akan dapat menjadikan kita termasuk calon penghuni surga.
Hikmah Tarbawiyah
Bagi seorang mukmin yang senantiasa mengharap ridha Allah swt. ketika membaca sebuah hadits, ia akan berupaya untuk mentadaburi hadits tersebut sehingga memberikan bekal dalam perjalanan panjangnya. Di antara hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas adalah:
Bahwa kesederhanaan dalam beramal, disertai ketulusan dan keikhlasan untuk senantiasa berpijak pada syariat Allah, insya Allah akan mengantarkan seseorang pada surga Allah swt.
Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memiliki “prestasi” yang menonjol dalam amalan ukhrawi, sehingga tidak baik bagi seorang dai untuk ‘memaksakan’ suatu amaliyah tertentu pada obyek dakwahnya yang tidak sanggup mengembannya. Namun bukan berarti bahwa setiap orang harus dinilai berdasarkan ‘pengakuan’ dan ‘keinginannya’ saja. Karena manusia jika tidak dipacu untuk maju, akan sukar baginya untuk maju.
Bahwa dalam muamalah, Islam memberikan kebebasan mutlak untuk melakukan inovasi amal, selama tidak ada dalil yang melarang satu perbuatan tertentu. Apakah di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, seni, budaya, dan lain sebagainya. Namun semua hal ini tetap harus dalam ‘frame’ untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini, serta harus diproteksi dengan sistem yang dapat menjaganya dari kekeliruan dan potensi penyelewengan. Hal ini berbeda dengan masalah ibadah, yang tidak boleh dilakukan kecuali adanya dalil yang memerintahkannya.
Seorang dai haruslah bersikap bijaksana dan senantiasa memotivasi objek dakwahnya untuk beramal, kendatipun kecilnya amalan tersebut. Karena dengan adanya motivasi, seseorang akan terus tergerak untuk beramal yang lebih baik dan baik lagi. Sikap ini tergambar dari jawaban Rasulullah saw. dalam hadits di atas.
Sebuah cita-cita yang besar demi kemaslahatan umat, tidaklah bisa dijadikan satu alasan untuk meninggalkan perkara-perkara yang kecil. Hadits Abu Bakar Al-Siddiq di atas menggambarkan kepada kita, betapa perhatiannya Abu Bakar terhadap masalah kecil, seperti menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memberi makan orang miskin, dan sebagainya. Padahal beliau merupakan sahabat yang paling besar andilnya dalam mensukseskan dakwah pada masanya. Sehingga jangan sampai karena alasan cita-cita yang besar, seorang dai mengabaikan amaliyah-amaliyah kecil.
Dalam beberapa hadits, shalat dan puasa selalu disebutkan sebagai amalan yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga. Hal ini menunjukkan ‘pentingnya’ peranan shalat dan puasa. Sehingga tiada alasan bagi seseorang mengabaikan kedua ibadah ini dalam kondisi apapun juga.
Penyebutan shalat dan puasa yang berulang-ulang, sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat dan puasa memiliki implikasi positif dalam diri siapapun yang mengamalkannya. Shalat dan puasa bukanlah sebuah ritual yang ‘wajib’ dilaksanakan dan setelah itu sudah. Namun shalat dan puasa adalah ibarat pondasi dasar dan pagar yang dapat membentengi iman dari kerusakan dan kehancuran.
Oleh: Rikza Maulan, M.Ag dakwatuna.com